
Mandragora: Whispers of the Witch Tree
Hujan turun perlahan di atas tanah berkabut Desa Elderglen. Aroma tanah basah, lumut tua, dan akar busuk menguar di udara, memenuhi setiap celah di antara pepohonan lebat yang melingkari desa terpencil itu. Di tengah hutan, berdiri sebuah pohon tua—besar, bengkok, dan hitam seperti arang terbakar. Penduduk menyebutnya Witch Tree, pohon kutukan yang berakar dari darah para penyihir yang dibakar hidup-hidup ratusan tahun lalu.

Tiada burung yang mau bersarang di cabangnya, tiada binatang yang berani berkeliaran di dekat akar-akarnya yang menjalar seperti ular mati. Tetapi di balik keheningan mengerikan pohon itu, sesuatu berbisik—lirih, mengendap, dan memanggil.
Namanya Elira. Seorang gadis yatim piatu yang tumbuh dalam asuhan neneknya, Ny. Morga. Neneknya selalu memperingatkannya sejak kecil untuk tidak pernah mendekati Witch Tree. Tapi seperti semua larangan yang terlalu ditekan, keingintahuan justru tumbuh menjadi obsesi.

“Di bawah Witch Tree tumbuh Mandragora,” bisik Ny. Morga suatu malam, saat Elira belum tidur. “Tapi bukan sembarang Mandragora, nak. Itu akar yang menyimpan jiwa penyihir yang disiksa. Siapa pun yang mencabutnya akan mendengar jeritannya… dan akan terganggu seumur hidupnya.”
“Apa yang terjadi setelah mendengarnya?” tanya Elira.
“Dia akan mulai bermimpi. Lalu bicara sendiri. Lalu mulai mendengar bisikan di siang hari… sampai akhirnya akarnya tumbuh di dalam dirinya.”
Elira menelan ludahnya. Kisah itu menyeramkan, tapi entah kenapa, hatinya justru merasa tertarik. Ia merasa seolah pohon itu memanggilnya.

Malam itu, bulan sabit menggantung rendah di langit. Kabut tebal menyelimuti desa. Elira, kini berusia delapan belas tahun, mengambil lentera dan berjalan diam-diam meninggalkan rumah. Di tangannya ada sekop kecil dan kantong kain hitam.
Jalan setapak menuju Witch Tree gelap dan sunyi. Angin malam membawa suara-suara aneh dari kejauhan—ratapan? Rintihan? Atau hanya bisikan hutan? Ia tidak yakin.
Ketika ia tiba di depan Witch Tree, hawa dingin menyergap. Pohon itu tampak lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Cabangnya menjulur ke langit seperti tangan-tangan mati. Di tanah sekitarnya tumbuh rumput berwarna ungu kelam, dan di bawah akar bengkok itu, Elira melihatnya—daun Mandragora.

Dengan hati-hati, ia menggali perlahan. Tanah terasa lengket dan bau belerang. Seketika, saat sekopnya menyentuh sesuatu keras dan kenyal, bumi bergetar pelan. Ia menggenggam akarnya dan mencabutnya dengan satu tarikan cepat.
SCREEEEEEEEECH!!!
Jeritan nyaring menusuk telinganya. Elira jatuh terduduk. Lentera jatuh dan padam. Gelap menyelimuti segalanya.
Di dalam gelap itu, ia mendengar bisikan. Banyak bisikan. Perempuan, anak-anak, tua dan muda. Mereka menangis, berteriak, tertawa miring.
“Aku ingin keluar…”
“Dagingmu… hangat…”
“Kau mendengarku, bukan?”
Elira menjerit dan pingsan.

Ia terbangun keesokan paginya di kamarnya. Sekop masih kotor di lantai, dan kantong hitam itu ada di meja. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya mimpi.
Tapi malam berikutnya, ia bermimpi.
Ia melihat pohon besar. Darah mengucur dari kulit kayunya. Akarnya menjulur ke langit. Dari tanah muncul wajah-wajah yang dikenalnya—ibunya, ayahnya, bahkan Ny. Morga. Semuanya berteriak padanya untuk “mengembalikan akarnya.”
Tiap malam, mimpinya semakin nyata. Ia mendengar suara-suara bahkan saat terjaga. Di dapur, saat mencuci tangan, ia mendengar: “Kita lapar.” Saat membaca buku, halaman berganti sendiri dan membisikkan mantra-mantra kuno dalam bahasa yang tak pernah ia pelajari.

Nenek Morga menyadari ada yang berubah. Suatu malam, ia menemukan Elira duduk di tengah dapur, menggambar lingkaran darah dengan simbol-simbol kuno. Di tengah lingkaran itu, Mandragora yang dicabutnya berdenyut pelan… seperti jantung.
“APA YANG KAU LAKUKAN!?” teriak Ny. Morga.
Elira menatapnya dengan mata kosong. “Mereka ingin pulang.”
Keesokan harinya, pendeta desa datang. Ny. Morga memohon padanya untuk menyelamatkan cucunya. Tapi ketika mereka tiba di rumah, Elira telah menghilang.
Yang tersisa hanyalah akar Mandragora yang kini tumbuh membelit seluruh dinding kamar. Dedaunannya kini berbentuk seperti tangan mungil yang menggeliat pelan, dan bisikan lirih tak berhenti dari baliknya.

Desa Elderglen mulai berubah. Warga menghilang satu per satu. Mereka yang pernah mendekati Witch Tree mendadak gila, berbicara dalam bahasa asing, atau bahkan mati mendadak dengan wajah tertarik seperti menjerit.
Hutan menjadi lebih gelap. Witch Tree tumbuh semakin besar, dan dari batangnya kini menggantung kantung-kantung seperti kepompong. Ada suara-suara dari dalamnya. Seperti… suara bayi menangis.
Beberapa bulan kemudian, sekelompok pemburu yang tersesat menemukan Elderglen kosong. Rumah-rumah ditinggalkan. Jendela-jendela tertutup paksa dari dalam. Namun di tengah desa berdiri patung baru yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya: seorang gadis muda memeluk akar pohon, dengan wajah setengah manusia, setengah akar.

Di bawah patung itu tertulis dengan huruf terukir:
“Elira, Penjaga Jiwa Mandragora. Ia Mendengar, Ia Membuka, Ia Menjadi.”
Witch Tree masih berdiri sampai sekarang. Lebih hitam dari malam, lebih senyap dari kematian. Mereka bilang, jika kau datang ke sana saat bulan gelap, dan kau meletakkan telingamu ke tanah, kau bisa mendengar suara Elira membisikkan mantra dari dalam bumi.
Dan jika kau mencabut Mandragora baru dari akar pohon itu…
Kau tidak akan pernah kembali menjadi dirimu yang dulu.

Penutup
Mandragora: Whispers of the Witch Tree adalah kisah tentang rasa ingin tahu yang membuka pintu menuju kegelapan yang tak bisa ditutup kembali. Ini adalah dongeng horor gothic tentang pengorbanan, kutukan, dan kekuatan akar yang tertanam di antara dunia manusia dan arwah.
