
Artifact – Ambisi Besar dari Dunia Dota yang Tak Sampai Tujuan
Pendahuluan
Ketika Valve—perusahaan di balik judul-judul legendaris seperti Half-Life, Counter-Strike, dan Dota 2—mengumumkan game baru berjudul Artifact pada 2017, banyak gamer langsung berharap besar. Diumumkan sebagai game kartu digital strategi berbasis semesta Dota 2, Artifact punya ambisi untuk menjadi penantang serius Hearthstone dan Magic: The Gathering. Namun, meski membawa nama besar dan didesain oleh Richard Garfield (pencipta Magic), Artifact justru menjadi salah satu game Valve yang paling cepat tenggelam dalam sejarah.
Apa Itu Artifact?
Dirilis pada November 2018, Artifact adalah game digital collectible card game (DCCG) yang menempatkan pemain dalam pertempuran strategi berbasis kartu. Dibandingkan dengan game kartu digital lain, Artifact lebih kompleks dan mendalam, bahkan disebut-sebut sebagai “game kartu untuk pemain hardcore strategi”.
Game ini memanfaatkan tiga papan permainan (mirip dengan tiga lane di Dota 2) dan melibatkan pahlawan (hero), minion, item, dan spell. Tujuan utama pemain adalah menghancurkan dua tower lawan atau satu Ancient, seperti dalam game MOBA-nya. Desain ini membuat gameplay terasa seperti perpaduan antara MOBA dan CCG, sebuah konsep yang sangat segar saat itu.
Gameplay dan Mekanisme Unik
Salah satu aspek paling menonjol dari Artifact adalah kompleksitas dan kedalaman strateginya. Setiap pertandingan dimainkan di tiga lane berbeda secara bersamaan, dan pemain harus mengelola mana, unit, serta hero di setiap lane dengan hati-hati. Kartu dimainkan di masing-masing lane berdasarkan jumlah mana di sana, dan setiap hero memiliki kemampuan unik.
Pemain akan membawa deck yang berisi berbagai kartu spell, item, dan creature, serta sejumlah hero dari berbagai warna (merah, hijau, biru, hitam), yang mewakili gaya bermain berbeda:
- Merah: Tank dan kekuatan brute.
- Hijau: Regenerasi dan kekuatan tumbuh perlahan.
- Biru: Spell dan efek sihir besar.
- Hitam: Assassin dan gangguan jalur lawan.
Ada pula sistem item dan shop, di mana pemain bisa membeli perlengkapan untuk memperkuat hero mereka menggunakan gold yang diperoleh saat game berlangsung. Hal ini menciptakan layer taktis ekstra, mirip seperti saat belanja item di Dota 2.
Namun, justru karena desainnya yang terlalu kompleks dan sistem ekonomi yang cenderung pay-to-win, banyak pemain merasa Artifact tidak ramah bagi pendatang baru.
Ekonomi dan Sistem Monetisasi
Salah satu aspek paling kontroversial dari Artifact adalah struktur monetisasinya. Tidak seperti Hearthstone yang memungkinkan pemain mendapatkan kartu melalui grinding dan quest, Artifact tidak gratis—dibanderol dengan harga sekitar $20 saat rilis, dan pemain juga harus membeli kartu tambahan jika ingin membangun deck yang kompetitif.
Sistem ini menciptakan kesan bahwa Artifact adalah game berbayar yang masih punya microtransaction berat, sehingga mendapat banyak kritik dari komunitas. Banyak yang merasa bahwa aspek kompetitif terlalu didikte oleh seberapa dalam kantong pemain, dan hal ini memperparah persepsi game sejak awal rilis.
Runtuhnya Artifact
Meskipun awalnya disambut dengan antusias, Artifact mengalami penurunan pemain yang sangat drastis. Dalam waktu kurang dari sebulan, jumlah pemain aktif harian turun dari puluhan ribu menjadi hanya ribuan.
Beberapa penyebab utama kejatuhan Artifact meliputi:
- Learning curve yang sangat curam.
- Kurangnya mode permainan kasual dan sistem progresi yang memuaskan.
- Monetisasi yang terlalu agresif.
- Kurangnya konten baru dan lambatnya respons Valve terhadap feedback pemain.
Valve sempat mencoba menyelamatkan proyek ini lewat versi “Artifact 2.0” (juga dikenal sebagai Artifact Beta 2.0), yang memperkenalkan sistem permainan baru, UI yang disederhanakan, dan menghapus aspek ekonomi berbasis pasar kartu. Namun, pada Maret 2021, Valve resmi menghentikan pengembangan Artifact, dan menjadikan game ini gratis untuk semua—dalam dua versi: Artifact Classic dan Artifact Foundry.
Kelebihan Artifact
- Gameplay yang inovatif dan sangat strategis.
- Desain visual menarik dengan ilustrasi dan efek berkualitas tinggi.
- Keterlibatan langsung Richard Garfield memberikan nuansa ‘game kartu sejati’.
- Integrasi konsep MOBA ke dalam genre kartu secara unik.
Kekurangan Artifact
- Sangat kompleks dan tidak ramah untuk pemain baru.
- Monetisasi yang tidak bersahabat sejak peluncuran awal.
- Kurangnya mode santai atau campaign.
- Konten tambahan sangat lambat hadir.
- Tidak berhasil membentuk komunitas yang aktif dan solid.
Kesimpulan
Artifact adalah bukti bahwa nama besar saja tidak cukup untuk menjamin kesuksesan dalam industri game. Meski dibangun dengan desain yang dalam dan ide brilian, serta dibalut dengan nuansa semesta Dota yang familiar, game ini gagal membangun fondasi yang kuat untuk pemain kasual maupun kompetitif.
Kini, Artifact hanya menjadi pengingat akan ambisi besar yang gagal mewujud. Namun bagi para pecinta strategi hardcore, Artifact—terutama versi Foundry yang kini gratis—masih bisa menjadi permainan kartu digital yang menyenangkan dan menantang.