
🏜️ In the Valley of Gods
Petualangan Sinematik yang Tertahan Waktu
📖 Pendahuluan
Di dunia game naratif, hanya segelintir judul yang mampu menyentuh perasaan pemain secara dalam dan personal. Salah satu developer yang sukses melakukannya adalah Campo Santo, lewat mahakarya mereka, Firewatch. Maka, saat pada tahun 2017 Campo Santo mengumumkan proyek baru berjudul In the Valley of Gods, harapan komunitas pun langsung membumbung tinggi. Game ini menjanjikan petualangan eksploratif di tanah Mesir kuno dengan balutan kisah manusiawi, sinematografi otentik, dan atmosfer sepi yang memikat.
Namun, harapan itu perlahan menjadi kabur. Setelah akuisisi oleh Valve, game ini menghilang dari radar. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa proyek sebesar ini bisa “tertahan” begitu lama? Dan apakah masih ada harapan baginya untuk kembali?
Mari kita telusuri lebih dalam.
🧳 Latar Cerita: Kamera, Padang Pasir, dan Masa Lalu
In the Valley of Gods berlatar pada tahun 1920-an, masa di mana dunia barat terobsesi dengan eksplorasi dan dokumentasi Mesir Kuno. Kita bermain sebagai Rashida, seorang mantan pembuat film dokumenter yang sempat memiliki nama besar, namun kini mengalami kejatuhan karier. Ia mendapat satu kesempatan terakhir: menjelajahi gurun Mesir dan membuat film dokumenter bersama Zora, mantan rekannya yang kini memiliki hubungan rumit dengannya.
Ceritanya bukan cuma soal petualangan mencari makam kuno—tetapi lebih dalam lagi: tentang rekonsiliasi, kepercayaan yang hancur, dan luka masa lalu yang belum sembuh. Relasi antara Rashida dan Zora menjadi pusat dari narasi yang berkembang sepanjang perjalanan mereka di gurun pasir.
🎮 Gameplay: Narasi, Eksplorasi, dan Sinematografi Interaktif
Secara gameplay, In the Valley of Gods mirip dengan Firewatch—game eksplorasi orang pertama (FPP) dengan fokus pada cerita, atmosfer, dan interaksi karakter. Namun ada elemen baru yang menjadikannya unik:
📷 1. Kamera Analog 35mm
Alih-alih hanya mengamati, pemain juga diberi kemampuan untuk mengoperasikan kamera film seperti pembuat dokumenter asli zaman itu. Kamu bisa mengatur komposisi gambar, memilih momen yang ingin diabadikan, dan bahkan melihat hasil filmnya nanti.
Kamera ini bukan sekadar alat visual, tetapi juga alat naratif. Pilihan apa yang kamu rekam akan berdampak pada narasi, dan hubungan antara Rashida dan Zora bisa berubah tergantung bagaimana kamu “memilih untuk melihat” momen-momen tertentu.
🗺️ 2. Eksplorasi Terbuka Terbatas
Permainan menawarkan lokasi-lokasi reruntuhan kuno, gua, makam tersembunyi, dan jalur-jalur terpencil di padang pasir. Tidak sepenuhnya open-world, tapi cukup luas untuk menciptakan rasa eksplorasi dan kesepian. Momen berjalan kaki di tengah sunyi padang pasir menjadi pengalaman meditatif tersendiri.
🗣️ 3. Dialog Dinamis
Mirip dengan Firewatch, game ini memuat sistem dialog responsif antara dua karakter utama. Rashida dan Zora tidak selalu sepakat, dan sebagai pemain, kamu bisa menentukan arah interaksi mereka—apakah ingin menjalin kembali kepercayaan, atau justru membiarkannya semakin retak.
🖼️ Visual dan Atmosfer: Gurun yang Hidup
Salah satu aspek paling menonjol dari In the Valley of Gods adalah estetika visualnya. Meski menggunakan engine Unity, tim Campo Santo berhasil menciptakan dunia yang indah dan penuh detail. Pencahayaan matahari gurun, bayangan di dinding batu, serta shader air realistis yang sempat viral di akhir 2024 menjadi bukti kualitas teknis yang sangat tinggi.
Shader air tersebut diperlihatkan hanya dalam 6 detik video pendek, namun berhasil membuat komunitas kembali membicarakan game ini. Efek riak air dalam gua, pantulan cahaya, dan gerakan halusnya menampilkan potensi imersif luar biasa—sayangnya belum pernah benar-benar dirasakan secara penuh karena gamenya tak kunjung rilis.
🎭 Tema: Ras, Arkeologi, dan Kritik Sosial
Tidak seperti banyak game petualangan lainnya, In the Valley of Gods menyelipkan kritik sosial penting tentang ras dan warisan budaya.
- Rashida dan Zora adalah karakter kulit hitam, tokoh utama dalam industri arkeologi dan film dokumenter yang saat itu didominasi oleh orang kulit putih.
- Narasinya mempertanyakan: Siapa yang berhak mendokumentasikan sejarah? Siapa yang menentukan makna penemuan arkeologis?
- Tema kolonialisme tersirat di dalamnya—tentang bagaimana peradaban barat sering mengklaim budaya timur sebagai “temuan” belaka, tanpa memahami konteksnya.
Dengan pendekatan ini, game tidak hanya menyajikan petualangan, tapi juga pembelajaran sejarah dan sosial yang dalam.
⏳ Perjalanan yang Tertunda: Dari Harapan ke Ketidakpastian
Setelah debut trailer yang memukau di The Game Awards 2017, antusiasme komunitas sangat tinggi. Campo Santo menjanjikan rilis pada 2019. Namun kemudian, Valve datang.
💼 Akuisisi oleh Valve
Pada 2018, Campo Santo diumumkan telah bergabung dengan Valve. Meskipun awalnya disebut bahwa mereka akan tetap mengerjakan game ini, kenyataannya tim dipindahkan ke proyek lain, termasuk:
- Half-Life: Alyx
- Dota Underlords
- Steam Deck UI
🤐 Komunikasi yang Menghilang
Sejak 2019, hampir tidak ada pembaruan resmi. Media seperti Polygon, PCGamer, dan IGN menyatakan bahwa game ini dalam status “on hold”. Tidak dibatalkan, tapi tidak juga dikembangkan aktif.
Valve memang terkenal sangat tertutup dalam mengelola proyek internal. Ini menyebabkan banyak fans mulai percaya bahwa game ini telah “mati secara diam-diam.”
🔥 Komunitas dan Kembali ke Permukaan
Pada akhir 2024, semangat kecil sempat muncul kembali. Seorang developer Valve merilis cuplikan pendek dari sistem air di dalam game ini. Hanya beberapa detik, tapi cukup untuk membuat harapan fans berkobar lagi.
🧑💻 Halaman Steam Masih Aktif
Halaman Steam In the Valley of Gods masih online, lengkap dengan screenshot dan deskripsi. Tertulis bahwa game akan rilis Desember 2029, yang kemungkinan besar hanya placeholder.
🤝 Reaksi Komunitas
Komunitas terbagi dua:
- Yang masih berharap, percaya bahwa jika Valve sempat menyelesaikan Half-Life: Alyx, maka masih ada kemungkinan game ini hidup kembali.
- Yang sudah menyerah, merasa bahwa proyek ini sudah dikubur, dan hanya akan dikenang sebagai “game yang hilang dalam sejarah.”
🕹️ Game Mirip Sambil Menunggu
Kalau kamu suka ide dan nuansa In the Valley of Gods, berikut beberapa game sejenis yang bisa kamu mainkan dulu:
- Firewatch – Game pendahulunya, wajib main.
- Heaven’s Vault – Tentang bahasa kuno dan misteri arkeologi.
- The Excavation of Hob’s Barrow – Horor arkeologi dengan nuansa klasik.
- Journey – Petualangan sunyi penuh makna simbolis.
- What Remains of Edith Finch – Narasi interaktif dengan cerita emosional.
✍️ Kesimpulan: Harapan di Tengah Padang Pasir
In the Valley of Gods adalah sebuah proyek ambisius, tidak hanya dari segi teknis, tetapi juga naratif. Ia berani mengangkat tema yang jarang dibahas di industri game—hubungan antar manusia, kolonialisme budaya, dan sejarah yang sering kali dikendalikan oleh mereka yang punya kuasa.